Wednesday, 3 March 2010

Terdiam


Andaikan dihadapkan dengan suatu pertanyaan "Siapakah yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan anda?" Pastinya akan muncul banyak jawaban atas pertanyaan itu. Entah jawaban itu, Atasannya, Sahabatnya, Orang tuanya, Kakaknya, atau Adiknya, yang pasti semua jawaban itu tidak ada yang salah.

Dan andai aku juga dihadapkan dengan pertanyaan itu, aku akan menjawab "Mamah-ku".

Ada rasa menggetar dalam hatiku apabila menyebut kata Mamah.

Hmmmmmhhh.....

Beberapa tahun belakangan ini, aku merasa hidupku ini untuk kebahagiaan Mamah. Semua keputusan yang akan aku ambil, sungguh pertimbangan dasar-ku adalah Mamah.
Hanya sekedar untuk mendapatkan sebuah restu tulus atas apa yang akan aku lakukan. Restu yang akan selalu menyertai dan mengiringi-ku.

Entahlaaaahh....

Mungkin rasa itu adalah bentuk rasa penyesalan-ku di masa lalu yang tidak terlalu peduli akan sosok Mamah.
Atau mungkin rasa itu untuk menggantikan sosok Ayah yang sudah tiada, sehingga aku merasa harus mencurahkan rasa ini ke Mamah.
Hanya Mamah satu-satunya orang tua yang aku punya sekarang ini.

Kenyataan yang harus dihadapi,
Mamah sudah tidak ada yang mendampingi lagi, hanya anak-anaknya saja.


Setidaknya Tuhan Maha Adil dan Bijaksana dalam Ketetapan-Nya...

Pada akhirnya semua berbalik kepada diriku yang kala itu masih egois, sok independent, cuek, terlalu banyak menuntut, tidak dewasa, dll.
Aku dihadapkan dengan sebuah realita kehidupan yang kuat membentuk karakterku berubah perlahan. Sebuah pembelajaran akan nilai tempaan kehidupan yang tidak aku dapatkan di sekolah. Sungguh sangat membuat diriku tersadar akan kemarahanku selama ini.

Dan...
Ketika aku menoleh lagi ke sekeliling-ku dan orang-orang didalamnya, mataku tertuju ke arah sosok yang selama ini aku kenal dan sudah terlihat menua.

Yaaahhh... Sosok itu adalah Mamah-ku...

Sosoknya sudah mulai melemah, usianya sudah memungkinkan untuk terus istirahat. Sendi-sendi syarafnya mulai cepat mengirim sinyal ke otak menandakan keletihan yang sering didapatnya dalam beraktivitas.
Tapi tetap Mamahku mencoba untuk tegar dan mandiri, mencoba untuk berdamai dengan tuntutan hidup yang keras.

Mungkin dalam batinnya mengatakan, masih ada beberapa persoalan yang harus diputuskan, dijalankan dan diselesaikan olehnya.

Aku ingat...

Malam itu,
Ketika aku pulang, aku meraih tangannya untuk kucium.
Lalu duduk bersebelahan dengan Mamah-ku sambil melihat acara TV malam itu.
Entah apa yang sedang ditampilkan dari stasiun TV itu, aku tidak ingat.

Seketika.. aku memicingkan mataku.

Tidak percaya.

Guratan itu...
Guratan urat di kiri keningnya... Ternyata sudah mulai nampak menonjol.

Mengkerut dahiku melihatnya.

Aaakkhhhh..

Sungguh aku marah-semarahnya dan menangis dalam hati pada guratan itu. Seakan-akan kehadirannya tidak ingin aku terima menemani keseharian wajah Mamah-ku yang tiap hari aku pandangi kala aku akan pamit pergi dan pulang ke rumah.

Aku tahu... Aku tahu sekali Mamah selalu berpikir kencang untuk menyelesaikan persoalannya. Mungkin sebagian dari diri Mamah, diwariskan ke diri-ku, sehingga aku mengerti sekali akan warna yang sedang dipertahankannya.

Kekhawatiranku akan Mamah adalah rasa sensitif Mamah yang semakin tinggi di usianya sekarang, sehingga cukup membuatku berhati-hati untuk bercerita tentang hal-hal yang nantinya malah akan membuat tidak enak hati dan pikirannya.

Biar aku saja yang menyimpan cerita itu. Aku tidak ingin Mamah terbawa pikiran.

Hanya saja tiap Mamah bercerita tentang apapun yang dialaminya di hari-harinya, timbul suatu kebahagiaan di dalam hatiku mendengar celotehan tawa dan binar matanya saat bercerita. Seharusnya memang seperti itulah kondisi normal untuk usia Mamah sekarang.

Tertawa.. tertawa dan tertawa...
Tidak ada lagi persoalan lain yang menguras semua pemikiran dan tenaganya.

Aku cukup mengerti mengapa Tuhan menghadapkan semua ini di depan-ku. Aku pun cukup belajar ber-ikhlas diri akan semua kondisi yang Tuhan berikan untuk aku lalui dengan orang-orang di sekitarku, Mamah-ku, Keluarga Kakak-ku, Adik-ku, Keluarga Besarku, Sahabat-sahabat-ku, Teman-teman-ku, dll.

Setidaknya membuat aku berpikir bahwa hidup ini memang penuh dengan resiko keputusan. Resiko yang butuh suatu pengorbanan yang lebih di dalamnya.

Seorang teman dekatku mengatakan "Hidup itu adalah Keputusan Lo, Be... Setiap keputusan pastinya akan ada resiko yang diambil."

"Hidup tanpa resiko, bukan hidup namanya..!" kata Bapak Boediono di tengah-tengah acara hari jadinya.

............
Sebuah kesimpulan yang brilian tentang hidup. Menyadarkan aku sejenak terdiam, merenung...

Semua rentetan hidup ini sangatlah indah kalau kita simak dengan penuh kesadaran. Semua rasa yang di Ciptakan-Nya, rasa-rasanya mungkin sudah pernah dirasakan juga.

Senang.. sedih.. pastinya hampir pernah singgah di hati kita sebagai manusia. Tinggal bagaimana kita menyikapi hidup ini dengan keikhlasan hati.

Aku....?!?
Aku....
Hmmmmhh...

Aku juga manusia yang masih punya banyak kesalahan, masih banyak kekurangan dari diri ini.
Aku pun juga masih banyak belajar tentang hidup ini.

Aku percaya, Ketetapan Tuhan akan diri ini adalah Kebijakan Yang Paling Sempurna dan Yang Paling Indah Jalannya.


-Tetap Cemangaaaat-

No comments: